Belajar dari Jepang: Fokus Pendidikan Awal pada Karakter, Bukan Sekadar Akademis

Ketika berbicara tentang pendidikan, banyak dari kita langsung membayangkan pelajaran matematika, membaca, atau sains. Namun, negara tetangga kita, Jepang menunjukkan pendekatan yang berbeda: 

Di negri Sakura tersebut, fokus pendidikan usia dini hingga awal sekolah dasar (kelas 1–3 SD) lebih menekankan pembentukan sikap, etika, moral, karakter dan kebiasaan sosial daripada kemampuan akademis, dikenal dengan istilah "tokkatsu" (特別活動) dan "doutoku" (道德)

Anak-anak diajarkan bagaimana bersikap sopan, menghargai orang lain, menjaga kebersihan, serta disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan utama bukan sekadar membuat anak pandai berhitung atau membaca sejak dini, tetapi membangun dasar karakter yang kuat agar mereka bisa tumbuh menjadi individu yang mampu hidup harmonis dalam masyarakat. Dalam Kurikulum resmi Jepang (Course of Study) bahkan menekankan bahwa sekolah dasar tahap awal adalah masa untuk melatih anak berperilaku baik, bekerja sama, dan menguasai keterampilan hidup dasar.

Pendekatan ini membuat aspek "afektif "(sikap, moral, karakter) menjadi lebih dominan dibandingkan aspek "kognitif" (akademik). Anak-anak baru mulai mendapat tekanan akademis yang lebih serius setelah kelas 4 SD ke atas, sementara di usia awal lebih banyak diarahkan pada pembentukan etika, budaya, serta keterampilan praktis sehari-hari. Para peneliti menilai bahwa fokus pendidikan Jepang pada pembentukan karakter sejak dini berperan penting dalam menciptakan budaya masyarakat yang disiplin, gotong royong, dan tertib, yang pada akhirnya menjadi salah satu faktor penunjang kemajuan negara.


Jika dilihat secara umum, pendekatan fokus untuk pendidikan usia dini dapat dilihat para perbandingan tabel berikut:

NegaraFokus Awal Pendidikan Usia Dini
JepangMenekankan afektif (karakter, empati, interaksi), diikuti psikomotorik (pembiasaan nyata, seperti membersihkan kelas "o-soji", menjaga kebun sekolah, hingga bekerja sama dalam kegiatan sosial), baru kognitif (tapi porsinya kecil : dasar membaca, menulis, berhitung, karena porsi utama akademis baru lebih kuat mulai kelas 4 SD)
IndonesiaCenderung menitikberatkan pada aspek kognitif (fokus besar pada baca-tulis-hitung, sejak dini), kemudian afektif (pendidikan karakter masih ada, tetapi sering kalah oleh tuntutan akademis) dan psikomotorik yang kurang dominan (praktik kebiasaan sosial belum menjadi prioritas utama)

Jepang percaya bahwa anak-anak perlu belajar bagaimana bersikap sebelum mereka belajar apa yang harus dipelajari. Nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, kerja sama, dan rasa hormat ditanamkan sejak kecil melalui pelajaran moral (doutoku) dan kegiatan khusus (tokkatsu).

Anak-anak bukan hanya diajarkan teori, tapi juga praktik nyata: mereka membersihkan sekolah sendiri, makan siang bersama, hingga merawat tanaman sekolah. Aktivitas sederhana ini melatih kemandirian sekaligus rasa kepemilikan terhadap lingkungan sekitar.

Dan bisa dilihat, hal tersebut berdampak nyata pada kemajuan Jepang, 

Ketika dewasa, generasi Jepang tumbuh dengan etos kerja tinggi, budaya disiplin, serta kebersamaan yang kuat. Hal inilah yang menjadi salah satu pondasi sosial-ekonomi Jepang hingga mampu bangkit pasca Perang Dunia II dan menjadi salah satu negara maju dengan tingkat produktivitas tinggi.

Apa yang Bisa Dipetik untuk Indonesia?

Indonesia memiliki fokus besar pada akademis sejak dini. Namun, dengan melihat pengalaman Jepang, mungkin sudah waktunya kita menyeimbangkan porsi antara kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pendidikan bukan hanya soal nilai ujian, tapi juga pembentukan karakter. Anak-anak yang sejak kecil terbiasa jujur, disiplin, dan peduli terhadap lingkungannya akan lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata di masa depan.

Dengan menaruh perhatian lebih pada ranah afektif, bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa mencetak generasi yang bukan hanya pintar secara akademis, tetapi juga tangguh dalam karakter.