Nada Sumbang di Balik Harmoni: Belajar dari Kasus Tone-Deaf dalam kehidupan Sosial dan Korporasi

Bayangkan sebuah orkestra besar sedang memainkan simfoni. Semua alat musik, dari biola hingga trombon, menyatu dalam harmoni yang nyaris sempurna. Namun tiba-tiba, satu pemain flute masuk dengan nada sumbang, keras, dan tak selaras. Suara itu bukan hanya terdengar janggal, tapi juga merusak aliran musik yang seharusnya indah. Itulah kira-kira bagaimana rasanya ketika seseorang — atau sebuah perusahaan — terdengar tone-deaf di tengah masyarakatnya.

Tone Deaf IllustrationDalam dunia sosial, kita sering menemukan contoh sederhana. Seorang teman yang bercanda tentang pemutusan hubungan kerja di hadapan mereka yang baru saja kehilangan pekerjaan; seorang figur publik yang memamerkan liburan mewah di saat banyak orang sedang bergelut dengan krisis. Nada yang fals itu bukan hanya persoalan “tidak lucu”, melainkan ketidakmampuan untuk mendengar harmoni kehidupan orang lain. Dan menariknya, gejala yang sama justru lebih kerap muncul di dunia profesional korporat.

Di ruang rapat berpendingin udara, seorang manajer berdiri dengan penuh semangat, menuntut timnya bekerja ekstra demi target kuartal. Padahal, tim itu sudah kelelahan, jam tidur mereka tergerus, bahkan beberapa sedang berjuang menjaga kesehatan mental. Kata-kata motivasi sang manajer terdengar bukan sebagai dorongan, melainkan sebagai instruksi yang tuli terhadap kenyataan. Inilah tone-deaf dalam bentuk paling nyata: kegagalan mendengar nada yang sedang dimainkan orang lain.

Kita juga menyaksikan bagaimana brand besar kadang terjebak dalam jerat yang sama. Salah satu contoh paling terkenal adalah kasus iklan Pepsi tahun 2017 dengan Kendall Jenner. Iklan itu menampilkan Jenner yang seolah mampu meredakan ketegangan protes sosial hanya dengan menyerahkan sekaleng Pepsi kepada seorang polisi. Publik bereaksi keras: iklan itu dianggap meremehkan perjuangan nyata masyarakat yang sedang menuntut keadilan, dan memperlakukan demonstrasi seolah hanya sekadar latar estetika untuk menjual minuman bersoda. Nada fals dalam kampanye itu bukan hanya membuat iklan ditarik dalam hitungan hari, tetapi juga meninggalkan noda reputasi yang sulit dihapus.

Kisah serupa terjadi di dunia kerja, ketika Google meluncurkan kampanye internal tentang pentingnya work-life balance. Di atas kertas, kampanye ini terdengar inspiratif, penuh jargon tentang kesehatan mental, dan janji perusahaan yang ingin menjadi tempat kerja terbaik. Namun, kenyataan di balik layar berbeda: banyak karyawan justru mengeluhkan beban kerja yang semakin berat, tekanan target yang nyaris tanpa henti, dan kurangnya dukungan nyata dari manajemen. Alih-alih memberi semangat, kampanye itu dianggap sebagai retorika kosong — sebuah poster motivasi di dinding yang tidak pernah menyentuh realitas keseharian para pekerja. Sekali lagi, nada fals itu terdengar jelas, bukan hanya bagi mereka yang memainkan musik, tetapi juga bagi audiens yang menonton dari luar.

Fenomena tone-deaf ini ternyata bukan hanya monopoli perusahaan atau dunia hiburan. Ia kini juga menjalar ke ranah politik dan kepemimpinan publik. Beberapa pejabat tinggi di berbagai negara kerap mengeluarkan pernyataan atau kebijakan yang dianggap jauh dari realitas keseharian warganya—mulai dari komentar ringan tentang “masyarakat harus berhemat” di tengah inflasi dan krisis pangan, hingga simbolisme yang terlihat mewah saat rakyat sedang dilanda kesulitan. Tak jarang hal-hal semacam ini justru memantik gelombang demonstrasi, karena publik merasa tidak didengar dan semakin teralienasi dari para pemimpinnya. Dalam konteks ini, tone-deaf bukan sekadar salah langkah komunikasi, melainkan cermin dari jurang empati yang semakin melebar antara penguasa dan rakyat.

Dan bukankah lebih menyakitkan ketika nada sumbang itu datang bukan dari lawan, melainkan dari konduktor yang kita harapkan bisa memimpin? Ketika para pemimpin perusahaan, tokoh publik, atau pejabat negara tidak menyadari bahwa tindakan mereka — atau diamnya mereka — bisa merusak kepercayaan. Setiap kebijakan, setiap ucapan, setiap postingan di media sosial sejatinya adalah bagian dari komposisi. Ketika tidak diperdengarkan dengan telinga yang peka, hasilnya bukan harmoni, melainkan kekacauan yang terdengar sampai jauh.

Mungkin inilah refleksi yang layak kita renungkan: dunia ini adalah sebuah panggung orkestra. Setiap individu adalah alat musik dengan nada uniknya masing-masing. Kepemimpinan yang sehat, baik di perusahaan maupun dalam masyarakat, bukan soal menuntut semua orang memainkan nada yang sama, melainkan soal mengatur agar berbagai nada itu bisa berpadu dalam harmoni. Karena pada akhirnya, publik tidak menilai seberapa keras seseorang atau sebuah institusi berteriak tentang nilai-nilainya, tetapi seberapa konsisten nada yang ia mainkan dengan kenyataan sehari-hari.

Jika kita kembali pada ilustrasi awal: satu flute yang sumbang mungkin terdengar kecil di tengah simfoni. Namun sekali kita mendengarnya, kita sulit melupakannya. Begitu pula dengan tone-deaf di dunia sosial, politik, maupun korporat. Ia mungkin terlihat sebagai kesalahan kecil, tapi efeknya mampu mengganggu keseluruhan lagu.

Maka, sebelum bicara tentang “visi”, “misi”, atau “inovasi”, mungkin yang lebih penting adalah memastikan telinga kita benar-benar peka. Sebab kehidupan, sama seperti musik, menuntut bukan sekadar suara keras, melainkan harmoni yang bisa diterima oleh semua pendengar.


“Nada yang paling merdu bukanlah yang paling keras, melainkan yang paling mampu didengar dan dirasakan oleh hati orang lain.”