Infrastruktur Transportasi vs Kultur Transportasi: Jalan Panjang Menuju Kota Bebas Macet
Sebagai seorang pekerja harian yang melakukan commuting antar kabupaten ke pusat kota Bandung dan kabupaten Bandung Barat, sejak lama saya bepergian dengan harapan: "Semoga sistem Transportasi Masal Bandung Raya yang terintegrasi segera terwujud secara sustain dan bisa mengurangi kemacetan di Bandung Raya”
Tapi realitanya? Jalanan di Bandung kini makin macet, setiap pagi, ribuan orang di Bandung Raya menempuh perjalanan yang melelahkan. Bayangkan seorang karyawan yang tinggal di Cimahi dan bekerja di pusat kota Bandung. Ia harus berangkat sebelum matahari terbit untuk menghindari antrean kendaraan di Tol Pasteur atau padatnya Jalan Sukajadi. Meski begitu, waktu tempuh tetap tak terduga—kadang 45 menit, sering kali lebih dari 2 jam. Transportasi umum? Angkot yang menunggu penumpang terlalu lama, ojek online yang tarifnya melonjak saat jam sibuk, atau bus kota yang jumlahnya terbatas. Akhirnya, banyak orang memilih kendaraan pribadi, menambah sesak jalan raya setiap harinya, apalagi jika sudah memasuki masa long weekend atau liburan panjang.
Data: Bandung dalam Sorotan Global—Kota Termacet yang Mengejutkan
Berbicara fakta dan data, menurut TomTom Traffic Index 2024, Bandung menempati posisi ke-12 dalam daftar kota termacet di dunia, serta peringkat pertama di Indonesia. Rata-rata waktu tempuh untuk menempuh jarak 10 km di Bandung adalah 32 menit 37 detik, dengan tingkat kemacetan sekitar 48% (sumber : GoodStats Data;) Itu berarti hampir setengah waktu perjalanan dihabiskan dalam kemacetan.
Sepanjang tahun, seorang pengendara di Bandung kehilangan sekitar 108 jam karena terjebak macet di jam sibuk. Dalam konteks ekonomi dan produktivitas, kerugian yang ditimbulkan sangat nyata—menyurutkan minat wisatawan, membebani usaha kecil, hingga menurunkan kualitas hidup warga.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah mobilitas di Bandung bukan hanya soal “banyak kendaraan”, tetapi juga soal bagaimana sistem transportasi publik dan perilaku masyarakatnya dalam bermobilitas.
Ketika berbicara tentang solusi kemacetan, sering kali yang terlintas di kepala kita adalah pembangunan infrastruktur. Jalur BRT baru, proyek kereta cepat, rencana LRT, hingga wacana MRT. Semua tampak menjanjikan, futuristik, dan memberi harapan.
Namun, ada satu faktor lain yang kerap terlupakan: "kultur transportasi." Infrastruktur memang fondasi, tetapi kultur adalah jiwa yang menggerakkannya. Tanpa keduanya berjalan beriringan, sistem transportasi hanya akan menjadi proyek mahal tanpa dampak nyata.
Infrastruktur: Tampak Nyata, Terukur, dan Menggoda
Infrastruktur transportasi bisa dilihat dan diukur. Ada berapa kilometer rel yang terbangun, berapa unit bus yang beroperasi, seberapa besar kapasitas angkut per hari. Proyek semacam ini mudah dikemas sebagai simbol kemajuan. Foto peresmian bisa menghiasi media, data statistik bisa dipamerkan dalam laporan tahunan.
Tetapi infrastruktur hanyalah wadah. Sehebat apa pun sistemnya, jika masyarakat tidak menggunakannya secara benar, maka manfaatnya tidak akan terasa maksimal. Kita sudah sering melihat bus canggih yang tetap terjebak macet karena jalurnya diserobot kendaraan pribadi. Atau stasiun kereta yang sepi karena orang lebih memilih naik motor ke pusat kota.
Dengan kata lain, infrastruktur adalah sisi fisik dari transportasi. Ia memberi kemungkinan, tetapi belum menjamin keberhasilan.
Kultur: Kebiasaan yang Mengikat atau Membebaskan
Kultur transportasi berbicara tentang perilaku. Tentang bagaimana masyarakat, pengemudi, hingga aparat mengelola ruang jalan.
Masalah klasik di kota-kota besar Indonesia, termasuk Bandung, misalnya:
- Ngetem angkot yang seenaknya menunggu penumpang.
- Parkir liar yang menyedot kapasitas jalan hingga 30%.
- “Pak Ogah” yang mengatur lalu lintas demi recehan tapi memperparah macet.
- Ego pengendara yang merasa jalan adalah milik pribadi.
Di sisi pengguna, kultur juga tampak dari pilihan mobilitas. Banyak orang yang masih memandang naik motor lebih “praktis” atau naik mobil lebih “prestisius” dibanding transportasi publik. Persepsi ini diperkuat oleh ketidaknyamanan masa lalu—angkot sempit, bus tua, atau sistem yang tidak bisa diandalkan.
Di sinilah letak tantangan sesungguhnya: mengubah kebiasaan lama menjadi kultur baru yang lebih tertib dan modern.
![]() |
Infrastruktur vs Kultur |
Kalau ditarik ke dalam perbandingan, beberapa kota besar di Indonesia berada dalam posisi “infrastruktur maju, kultur tertinggal”. Kita bisa membangun kereta cepat, BRT, dan LRT, tetapi di jalanan masih penuh dengan parkir liar dan angkot yang sulit diatur.
Ada juga kota yang justru sebaliknya: “kultur transportasinya lebih maju meski infrastrukturnya sederhana”.
Beberapa kota kecil dengan transportasi publik terbatas tetap bisa lancar karena warganya disiplin, pengemudinya tertib, dan aparatnya tegas.
Idealnya tentu kita ingin mencapai titik di mana infrastruktur dan kultur tumbuh seimbang. Ada sistem yang modern, dan ada masyarakat yang siap menggunakannya dengan benar.
Membangun Transportasi Bukan Hanya Soal Beton
Apa yang bisa dilakukan agar transportasi benar-benar menjadi solusi? Kuncinya ada pada integrasi antara pembangunan fisik dan perubahan budaya.
- Penataan Angkot (Para-transit) - Alih-alih dimatikan, angkot bisa direformasi jadi feeder resmi BRT/LRT. Supir tidak lagi mengejar setoran, melainkan digaji tetap. Dengan begitu, mereka tidak perlu ngetem atau berebut penumpang.
- Parkir Liar dan Premanisme - Sistem e-parking berbasis aplikasi harus menggantikan praktik “juru parkir liar”. Parkir di trotoar atau badan jalan harus ditindak tegas. Surabaya adalah contoh kota yang bisa menekan parkir liar lewat kombinasi teknologi dan ketegasan hukum.
- Mengubah Perilaku Pengguna - Edukasi publik sangat penting. Kampanye soal manfaat transportasi publik, ditambah insentif berupa tarif murah atau integrasi tiket, bisa mendorong orang untuk beralih.
- Disinsentif Kendaraan Pribadi - Tarif parkir progresif, aturan ganjil-genap, hingga zona khusus pejalan kaki bisa mengurangi dominasi kendaraan pribadi. Semakin mahal dan ribet membawa mobil ke pusat kota, semakin besar peluang orang beralih ke transportasi massal.
- Rebranding Transportasi Publik - Transportasi publik harus diposisikan sebagai pilihan modern, aman, dan membanggakan, bukan sekadar opsi terakhir bagi mereka yang tidak punya kendaraan pribadi.
Penutup: Dua Jalur yang Harus Berjalan Bersama
Kemacetan bukan hanya soal kurangnya jalan atau sedikitnya armada bus. Ia adalah hasil dari kombinasi infrastruktur yang tidak memadai dan kultur yang tidak mendukung.
Membangun jalur baru bisa selesai dalam beberapa tahun, tetapi mengubah kultur bisa memakan waktu puluhan tahun. Meski begitu, keduanya tidak bisa dipisahkan. Infrastruktur tanpa kultur akan sia-sia. Kultur tanpa infrastruktur akan stagnan.
Sebagai commuter sehari-hari, saya hanya ingin tiba tepat waktu—tanpa stres, tanpa harus ngotot mencari celah di kemacetan. Infrastruktur modern hanya akan optimal jika kultur kota sudah siap menerima dan menggunakannya disiplin. Segala projek LRT bergaya futuristik dan halte digital akan sia-sia tanpa perubahan di kesadaran publik.
Bandung bukan hanya membutuhkan jalan yang lebih lebar, sistem transportasi yang canggih, jaringan fiber-optic, atau aplikasi canggih untuk mendapatkan gelar "Smart City". Yang lebih krusial adalah peradaban transportasi—yaitu budaya tertib dan taat aturan, berpikir kolektif, dan kemauan keras untuk membentuk gaya mobiltas yang baru, meninggalkan kebiasaan lama.
Itulah yang akan melepaskan predikat “kota termacet” dan menyulap Bandung menjadi kota yang lebih manusiawi dan produktif.
Bandung — dan kota-kota besar Indonesia lainnya — hanya bisa keluar dari jerat kemacetan jika berani menata jalan fisik sekaligus jalan "budaya". Dengan begitu, transportasi publik tidak hanya menjadi proyek, tetapi juga peradaban.