Eksistensialisme Kristen

"Life can be understood backwards, but it must be lived forwards," 

"Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tetapi harus dijalani dengan melihat ke depan."

 
Kutipan ini seringkali menggema dalam benak saya. Sederhana, tapi dalam — seperti sebuah bisikan lembut dari masa lalu yang mengingatkan: memahami hidup butuh waktu, tapi menjalaninya butuh keberanian, sehingga kutipan tersebut menjadi salah satu kutipan favorit saya

Ucapan ini berasal dari Søren Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark yang hidup pada abad ke-19. Ia bukan sekadar pemikir, tapi seorang penjelajah batin yang menyelami kedalaman eksistensi manusia — lewat perspektif filsafat dan teologi Kristen yang dikenal dengan istilah "Eksistensialisme Kristen"

 Di dunia modern yang serba cepat, penuh pilihan, dan sering kali terasa kosong atau membingungkan, Eksistensialisme Kristen menawarkan cara pandang yang sangat relevan:
hidup bukan soal mengikuti arus besar masyarakat, tapi soal menghadapi diri sendiri dengan jujur di hadapan Tuhan.

1. Pencarian Makna di Tengah Kekacauan

Hari ini, banyak orang merasa hampa meski memiliki karier, uang, atau popularitas. Eksistensialisme Kristen mengatakan:
"Makna hidup tidak ditemukan di luar sana, tapi di dalam hubungan personal kita dengan Tuhan."
Bukan soal pencapaian, tapi soal apakah kita hidup autentik — jujur terhadap kegelisahan, kekurangan, dan pergumulan kita, dan berani menghadapinya bersama Allah.

2. Kebebasan yang Menakutkan

Modernitas menekankan "kebebasan memilih", tapi kebebasan juga menimbulkan kecemasan. Kierkegaard menyebut kecemasan ini sebagai "peluang terbaik kita" — karena lewat kecemasan, kita sadar kita butuh sesuatu di luar diri kita:
kita butuh kasih karunia.
Dalam dunia yang menawarkan 1001 identitas dan pilihan hidup, Eksistensialisme Kristen mengajak kita kembali pada satu hal: memilih menjadi diri sendiri di dalam Allah, bukan dalam definisi dunia.

3. Lompatan Iman di Era Sains dan Rasionalitas

Saat ini banyak yang percaya bahwa semua harus bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi Eksistensialisme Kristen mengingatkan:
"Tidak semua yang paling penting dalam hidup bisa dibuktikan dengan eksperimen."
Kasih, pengampunan, iman — semua itu melibatkan keputusan hati. "Lompatan iman" berarti berani percaya meski tidak punya semua jawaban. Ini sangat kontras dengan budaya modern yang menuntut bukti untuk segalanya.

4. Menghadapi Krisis Identitas dan Keterasingan

Media sosial, budaya kerja, dan tekanan hidup membuat banyak orang merasa terasing dari diri mereka sendiri.
Eksistensialisme Kristen mengajarkan bahwa kita bukan sekadar angka, produk, atau performa sosial. Kita adalah pribadi yang dikenal dan dikasihi Allah, bahkan dalam kegagalan dan kerapuhan.

5. Pilihan Autentik vs Kepalsuan

Dalam dunia yang suka pencitraan, Kierkegaard mengajak:
"Beranilah hidup autentik."
Bukan hidup untuk dilihat orang lain, tapi hidup dalam kejujuran di hadapan Tuhan. Ini berarti kadang harus berani memilih jalan yang sulit, yang mungkin tidak populer, tapi benar.


 

Eksistensialisme Kristen hari ini menantang kita untuk berhenti hidup dalam ilusi, berhenti berlindung di balik status, logika, atau kesibukan, dan mulai berani bertanya:
"Siapa aku di hadapan Allah?"
"Apa makna hidupku yang sejati?"

Dan di tengah semua ketidakpastian zaman, jawaban itu hanya ditemukan bukan dalam kekuasaan, bukan dalam kesuksesan, tapi dalam lompatan iman kepada Dia yang menciptakan dan mengasihi kita.

Di tengah dunia modern yang penuh distraksi dan pencitraan, Kierkegaard masih relevan. Ia mengajak kita untuk hidup bukan sekadar mengikuti arus, tapi dengan kesadaran penuh. Untuk tidak tenggelam dalam masa lalu, tapi memaknainya; dan untuk tidak takut pada masa depan, tapi melangkah ke arahnya — dengan iman.

Karena, pada akhirnya, hidup bukan soal mengerti segalanya…
tapi tentang berani hidup meski belum mengerti segalanya.