Pernah nggak kamu merasa sedang mendengarkan argumen seseorang yang terdengar pintar, tapi entah kenapa rasanya seperti ada yang janggal?
Atau mungkin kamu sendiri pernah meyakini sesuatu dengan sangat kuat, hanya untuk menyadari belakangan bahwa keyakinan itu berdiri di atas logika yang rapuh?

Mari kita bahas beberapa jenis kesalahan logika yang umum—dengan ilustrasi yang mudah dipahami agar kita bisa lebih waspada ke depannya.
Ad Hominem
Ini adalah saat kita menyerang pribadi seseorang, bukan argumennya. Fokusnya bergeser dari substansi ke karakter.
Misalnya:
Saat berdiskusi soal kebijakan lingkungan, seseorang berkata, “Ah, kamu kan nggak pernah lulus kuliah. Pendapatmu soal energi terbarukan nggak bisa dipercaya.” Padahal, kelulusan seseorang tidak serta merta membuat argumennya valid atau tidak.
Atau contoh lain:
Dalam debat antar calon legislatif, salah satu kandidat menanggapi kritik dengan, “Kamu ngomong gitu karena iri aja, kamu nggak pernah dipilih rakyat!” Alih-alih menjawab kritik, ia justru menyerang latar belakang lawannya.
Strawman (Manusia Jerami)
Kesalahan ini terjadi ketika kita menyederhanakan atau menyalahartikan argumen lawan agar lebih mudah dibantah.
Contoh pertama:
A mengatakan,
“Kita perlu memperbaiki kurikulum pendidikan agar lebih relevan dengan zaman.”
B lalu merespons, “Jadi menurutmu semua guru kita nggak berguna ya?” Padahal A
tidak mengatakan itu sama sekali.
Contoh kedua:
Ketika seseorang mengusulkan agar subsidi BBM dialihkan ke pendidikan, lawannya berkata, “Kamu mau semua orang nggak bisa beli bensin, gitu?” Sebuah penggeseran makna yang jelas-jelas menyimpangkan maksud asli.
False Dilemma (Dikotomi Palsu)
Ini adalah saat kita membuat seolah-olah hanya ada dua pilihan ekstrem, padahal masih ada banyak opsi lain.
Misalnya:
“Kalau kamu tidak ikut aksi ini, berarti kamu mendukung ketidakadilan.” Padahal, bisa saja seseorang setuju dengan isu tersebut tapi memilih cara perjuangan yang berbeda.
Atau:
Dalam forum gereja, seseorang berkata, “Kita harus pilih: pakai musik tradisional atau tinggalkan iman kita.” Sebuah dikotomi yang tidak mencerminkan kompleksitas realitas.
Slippery Slope (Lereng Licin)
Dalam jenis ini, orang menganggap bahwa satu langkah kecil pasti akan membawa pada bencana besar, padahal itu belum tentu terjadi.
Contoh:
“Kalau kita izinkan anak main game satu jam sehari, nanti mereka bisa kecanduan dan nggak lulus sekolah.” Padahal tidak semua anak yang main game satu jam jadi kecanduan.
Atau:
“Kalau kita mulai pakai bahasa asing dalam ibadah, nanti bisa-bisa semua budaya lokal hilang.” Ini asumsi yang melompat tanpa fondasi yang kokoh.
Circular Reasoning (Berpikir Melingkar)
Kesimpulan dijadikan alasan untuk mendukung kesimpulan itu sendiri. Argumen semacam ini berputar tanpa memberikan bukti nyata.
Contoh pertama:
“Saya percaya dia tidak bersalah karena dia orang baik.” Tapi ketika ditanya kenapa dia dianggap baik, jawabannya, “Ya karena dia nggak mungkin bersalah.”
Contoh lain:
“Alkitab itu benar karena itu firman Tuhan.” Saat ditanya kenapa disebut firman Tuhan, jawabannya: “Karena tertulis di Alkitab.” Ini seperti menjawab pertanyaan dengan jawaban yang jadi pertanyaan itu sendiri.
Appeal to Authority (Mengacu ke Otoritas)
Menganggap sesuatu benar hanya karena dikatakan oleh orang terkenal atau yang dianggap berwenang, meski tidak selalu relevan dengan keahliannya.
Misalnya:
“Kata aktor favorit saya, vaksin itu bahaya.” Padahal si aktor bukan tenaga medis atau ilmuwan, hanya punya popularitas.
Contoh lain:
“Uskup bilang ini teori paling benar, jadi kita harus percaya.” Padahal argumen tetap harus diuji, bukan diterima hanya karena status orang yang mengatakannya.
Post Hoc (Sebab-Akibat Palsu)
Jenis ini mengasumsikan bahwa karena A terjadi sebelum B, maka A pasti menyebabkan B.
Contoh pertama:
“Aku makan bakso terus flu-ku sembuh. Berarti bakso bisa menyembuhkan flu!” Padahal mungkin memang tubuhnya sudah dalam masa pemulihan.
Contoh lain:
“Kemarin aku pakai baju warna merah, lalu menang lomba. Kayaknya baju merah pembawa hoki.” Ini mengabaikan banyak faktor lain yang lebih logis.
Kesalahan berpikir semacam ini bisa muncul di mana saja, di ruang debat, di media sosial, atau dalam benak kita sendiri. Tapi dengan mengenali polanya, kita bisa belajar untuk berhati-hati: tidak semua argumen yang terdengar meyakinkan dibangun di atas dasar logika yang sehat.
Logika bukan sekadar alat untuk menang dalam debat, melainkan jembatan menuju pemahaman yang jernih dan penuh integritas. Mungkin kita semua pernah atau bahkan sering melakukan kesalahan logika ini. Yang penting bukan menjadi sempurna, tapi mau belajar dan memperbaiki cara berpikir kita.
Dan siapa tahu, dengan berpikir lebih jernih, kita bukan hanya lebih bijak dalam berbicara—tapi juga lebih adil dalam memahami orang lain.
“Berpikir kritis dimulai dari keberanian untuk mengakui bahwa tidak semua yang terdengar pintar adalah benar.”